4 Jan 2011

Empat Perlima Berkisah



Sekali jumpa seraya satu malam bersekongkol melebur asa. Menaklukan gempita dalam malam sunyi senyap mencumbu sosok gelap dalam curiga dan waspada. Berjaga-jaga siap sedia. Jika sewaktu ilusi datang menyergap.


Mulai dengan ujung jari menjelajahi selapis tipis permukaan kulit, merasakan teksturnya. Kadang kenyal dan lembut beberapa bagian tapi kasar agak kisut bagian lainnya. Jamah lembut sentuhan halus geliat jemari mengusik lelap. Menciptakan alur gerak memutar menggelitik, menanti bangunnya roman. Sedikit hangat bercampur geli, kadang dingin dan lembab membiarkan roma bangkit bergidik sesaat melayang dalam buai sensasi raba.

Napas menghirup seruak feronom terpompa masuk bersama udara lembab bercampur peluh dan aroma tengik kulit kepala meninggalkan jejak seberkas makna. Menyisipkan tugas tafsir dalam tiap hirupan pada otak. Tercium kerja keras dan kesungguhan, anyir busuk bangkai hanya semilir lewat musim kemarau. Aroma segar sabun mandi gambaran semangat menyambut esok, terselip putus asa dan kegugupan. Samar, tertutup semerbak parfum pemicu gelora api semangat. Selintas lalu ada aroma manis bunga asing tak sengaja terhirup. Haruskah ditafsirkan?

Dalam sunyi ada bisikan halus diam-diam bersembunyi dalam gelap sempit. Serupa ajakan memadu cinta bertukar rasa melebur jiwa. Perlahan tapi pasti mengunci telinga agar tetap terngiang. Senandung nada kasih kecoh cemooh. Merdu lagu cinta serasa kisah sendiri. Semakin lama semakin pekat, meyakinkan hati akan sejati. Desah lelah kebenaran saling susul berpacu sampai gendang telinga. Hanya saat dunia tak ada yang lain, dalam sunyi rintih manja berani sampaikan rindu yang terpasung dalam diam.

Lidah menjulur, ikut berpesta. Asin saat menjelajahi kulit berbasuh peluh sebelum meninggalkan bau asam. Rasa tembakau, entah mengapa masih terasa walau telah ditinggal berjam-jam. Menggerakan lidah, menyusuri setiap senti rongga mulut bertukar saliva, bertaut saling icip rasa. Mengecap dan mengira santapan terakhirnya. Pekat kopi masih terasa di ujung lidah. Sisa coklat menempel di gigi memberi rasa manis. Cerna bersama seluruh kumannya, bukankah ini nikmat berbagi? Sedikit luka bibir yang terkelupas meninggalkan rasa besi. Luka masih belum kering, tercicip rasa darah.

Kulit, hidung, telinga, dan lidah membawa kisah separuh. Pejamkan mata dan sesapi rasa, fantasikan lainnya dalam mata tertutup. Melihat hanya ilusi, memandang muslihat halusinasi. Dengan mata tertutup kukecup nikmat empat perlima bulat. Sensasi ketidakutuhan yang dirasakan hati dan ditafsirkan otak.



(Senin malam, menimbang-nimbang)

2 komentar:

  1. rasa yg ditafsirkan si lidah 'HOT' bangeeett...
    bahahahahaa...

    BalasHapus
  2. Hihihi begitu dah klo terbitan tengah malem. Otak mulai binal. Aiiiiiiih... Hahahahahaha

    BalasHapus