Dear diary,
Hari ini bukan hari terbaikku, tidak terlampau buruk juga. Cukup membuatku dirundung kerinduan mendalam. Keadaan sekarang berbeda. Kampus adalah sarang senduku. Dulu di sana banyak tawa, tapi tau... Kini aku hanya duduk sendiri. Saat pandanganku menyisir setiap sudutnya, adegan bahagia masa lalu terputar kembali. Samar-samar seperti bayangan transparan. Tau apa jadinya? Menyedihkan.
Harus aku telan semua itu, semua akibat ulahku sendiri. Keputusan yang kurang pertimbangan matang. Setengah tahun belakangan ini aku tersiksa. Luntang-lantung dirundung rasa bersalah. Baru belakangan ini aku berhasil mengobati setiap keperihan yang datang. Obatnya, kutertawakan saja semuanya. Menertawakan diri sendiri.
Baru kali ini aku tumpahkan. Taukah kalian apa yang selama ini menggangguku? Taukah kalian rasa bersalah yang selama ini aku tepis, ku anggap saja ini proses hidup. Taukah kalian aku mencoba mengapai-gapai dinding tanpa pegangan. Taukah kalian kepalsuan tabahku.
Tidak pernah aku katakan. Hanya padamu, karena tak tahan. Dan kamu yang diam ini tidak pernah menghakimiku. Rispondimi... Sudahlah, tak perlu sesali. Sudah begini, hadapi saja. Tanggung semuanya. Aku pernah punya masalah dengan tidak punya masalah. Dan inilah, saat inilah jawaban permasalahan lampau itu. Kujalani, pasti berarti. Bukankan ini yang kuinginkan, agak berkelok. Dan disinilah aku.
Beberapa hari ku pendam kerinduan padanya. Kupendam karena kurasa dia mungkin saja muak. Simpan saja. Keadaan ini tentu bukan menambah baik. Sungguh. Lengkap sudah hari ini. Ingin bernaung, tak ada perlindungan. Ingin menangis, tak ada sandaran.
Siang tadi kuhabiskan dengan menatap kosong seisi jagat yang melintas. Aku biarkan makan siang yang berlarut-larut. Tak mengeluh lima puluh menit pesananku tak kunjung sampai di meja. Aku pandangi mereka yang tertawa. Aku perhatikan mereka yang berinteraksi. Seperti aku tidak terlihat mereka.
Menjelang siang hangat mulai menipis, lagi-lagi mega mendung menghardik senja keemasan untuk datang sore ini. Lembab, basah, dan dingin. Hampir tak kuasa menghadapi malam. Sampai... 'Take My Heart' dari Soko mengalun dari seluler.
Aku tentu tau siapa di ujung sana, suka cita aku menjawab panggilanmu. Jam yang tidak biasa panggilan absenmu. Langsung aku ceritakan hariku, kisah keluh diselingi gurau agar kau tidak ikut kesal. Panggilan berdurasi 12 menit 41 detik ini cukup panjang bagi kita. Tidak ada esensi berarti yang jadi topik. Karena bukan topik esensinya. Kehadiranmu. Aku rasa cukup menjadi cadangan panas untuk menghadang malam. Besok aku rasa terik akan menghangatkan, semesta tidak mungkin begitu kejam. Secepatnya aku harapkan pertautan.
"Hey kamu lagi apa?"
"Ngunyah Fullo"
"Apa itu Fullo?"
"Semacam Chocolatos dengan tingkat kegaringan lebih tinggi"
Penghiburan atas sedikit gelisahku. Pelarian mungkin. Apapun... kau membunuh sakit atas itu.
(Sore biasa membawa sendu)