1 Des 2010

Drama Terik dan Hujan

"Kenapa setiap kali akan hujan lebat, pasti matahari bersinar terik bukan main seperti sedang marah?" pertanyaan lugu basa-basi membuka obrolan kering yang aku ajukan di siang terik saat kita ingin menikmati suatu siang bersama.

"Karena kalau siang terik, berarti semakin banyak air yang menguap. Nah... Semakin banyak juga yang ditanggung awan, semakin lebat hujannya" jawaban serius dari mulutmu seperti menjelaskan ilmu alam kepada seorang anak kecil dan aku mengamatinya dengan seksama. Saat mendapat jawaban atas semua pertanyaan besar itu, hatiku pun seperti bocah kecil yang kegirangan, melompat-lompat.
(Suatu hari di siang terik, berkendara dengan Carol)




Siklus terik dan hujan seperti menggambarkan ungkapan yang sering kita dengar "Jangan tertawa terlalu banyak, pasti setelahnya kau akan menangis sama hebatnya dengan tawamu" dan "Penderitaan akan dibalas dengan kebahagiaan yang setimpal". Dua ungkapan itu sungguh bertolak belakang.


"Jangan tertawa terlalu banyak, pasti setelahnya kau akan menangis sama hebatnya dengan tawamu"

Untuk ungkapan pertama, kita gambarkan terik adalah ekspresi bahagia dari si matahari. Cerah identik dengan bahagia. Terlalu cerah menjadi terik. Berarti terik adalah terlalu bahagia. Dan setelahnya langit menjadi mendung, matahari meredup, seperti mendadak sadar akan suatu kesedihan yang menimpa dirinya. Tetesan air yang jatuh mirip sepeti tangis. Mungkin begini salah satu makna yang kita capai saat berusaha mempersonifikasikan hujan. Sebagai wajah yang menangis.

Nuansa yang ditimbulkan pun sama. Saat matahari bersinar, nuansa sekeliling kita menjadi berwarna, keluar warna aslinya karena disinari. Hati pun mendadak bahagia. Saat mendung mulai menyelimuti, kusam, suram, kelabu. Mata kita seperti diberi filter kelabu saat melihat ke sekeliling. Suram, terlihat murung. Hujan membuat semesta meneteskan tetesan-tetesan air. Seperti seraya semua menangis. Seseorang yang sedang galau biasanya akan bertambah melankolis saat hujan turun. Iya tidak? Saya sih begitu.


"Penderitaan akan dibalas dengan kebahagiaan yang setimpal"

Kali ini matahari yang merah menyala akan digambarkan seperti bola pijar yang membara karena amarah. Marahnya si bintang besar ini membuat kita takut, menderita. Panas. Terik. Seketika ingat neraka, tempat penghukuman atas segala dosa. Apa yang ada di sana? Api, panas (begitu kata kitab suci yang saya yakini). Saking teriknya banyak yang sering berkata "Panasnya seperti di neraka" (ya ya ya... Saya tahu panas neraka sangat super jauh lebih hebat dari apa yang sanggup kita rasakan saat terik. Tapi biarkanlah ungkapan ini, toh kita mengenal hiperbola dalam tata bahasa kita). Singkatnya, saat matahari bersinar terik, itu seperti kita dibiarkan sedikit mencicipi derita. Derita neraka, jika saya kembali berhiperbola.

Setelah terik puas menyengat kulit-kulit kita hingga perih seperti terbakar (atau memang benar-benar terbakar), penghiburan pun datang. Si hujan. Tetes-tetes hujan. Seperti masyarakat padang pasir yang tandus. Hati kita akan menari-nari kegirangan di bawah hujan. Seuntai syukur seraya dipanjatkan atas rahmat yang masih diberi (hujan adalah rejeki_ jika pas kadarnya).

Pertanyaannya:
Siapa si antagonis dan protagonis?

Menurut saya, (perlu saya sisipkan di depan jawaban saya karena ini hanya menurut saya yang gemar meracau) seperti segala baik dan buruk, positif dan negatif, untung dan rugi, susah dan mudah, sedih dan bahagia, siapa yang jahat dan siapa yang baik dan sebagainya adalah tergantung.

Tergantung dari mana, bagaimana, seperti apa, melalui apa, menggunakan apa kita sedang memandangnya. Di balik satu sisi ada sisi lainnya yang tersembunyi dan sangat mungkin saling bertolak belakang.

Di samping itu, tidak ada yang sepenuhnya mutlak, absolut saat absolute vodka saja hanya mencapai 30%, apa lagi yang absolut?

Atas semuanya... Saya bersyukur. Saya ingat Dia pernah berkata pada saya "Nikmat mana lagi yang ingin kau dustai?"






(Rabu siang, kebingungan menyaksikan drama terik dan hujan)

5 komentar:

  1. saya sukaaa hujaaann...!! hehe
    *bukan brarti kalo ngomong muncrat2 kyak hujan loh...hahahaa

    BalasHapus
  2. Saya suka dihujani (cinta bukan ujan dr mulut)... Preeet! Hueks! Hahaha
    Hmmmm... Hujan kan kelabu abu-abu??! :D

    BalasHapus
  3. hujan itu keren... warnanya bisa berubah2..kadang abuabu, kadang ungu... yang pasti, dia tdk pernah takut sakit, meski jatuh berkali kali ke bumi. ;)

    BalasHapus
  4. Hujan tuh bikin mendayu-dayu
    Hahaha. Orang yang suka hujan pasti empet kena macet sma banjir. Salah sendiri bikin nangisnya kejer!
    Mungkin hujan gak takut jatuh karena jatuhnya dia adalah untuk bersatu dengan yang lain setelah berpencar jadi tetesan kecil-kecil. Saat sampai bawah, kekuatan meraka bersatu, gembira.
    Hahahaha mungkin loh, menurut saya aja :p

    BalasHapus
  5. Eh, yg ga suka hujan maksudnya yg empet sma macet n banjir :p #typo

    BalasHapus