20 Des 2010

Nafkah

"Keru... puk... Kerupuk!!!"
"Keru... puk... Kerupuk!!!"

Begitulah suara yang terdengar saat dia berkeliling menjelajahi perumahan dan kampung-kampung bersama tongkat setianya. Tongkat yang membimbingnya pada setiap kelok maupun lekuk-lekuk seksi jalanan yang tidak rata ini. Ujung tongkat adalah matanya. Mata yang membawanya berkeliling mencari penghidupan.

Konon karena panas tinggi yang di deritanya, kini matanya benar-benar hanya cekungan hitam yang gelap karena sudah tidak lagi melihat warna-warni dunia. Ya, pedangan kerupuk palembang yang berkeliling di perumahan saya adalah seorang tuna netra. Dia tinggal di kampung dekat perumahan, bersama istrinya yang juga buta dan seorang anak laki-laki yang berkat kekuasaan-Nya diberkahi sinar di matanya. Sinar untuk menceritakan dunia kepada orang tuanya.

Sementara kemarin sore saya menyaksikan seorang pria paruh baya yang bertubuh bugar berkeliling memanggul karung kain yang sepertinya berisi beras pemberian mereka yang terlalu mudah iba. Tubuh dia bugar, dan wajahnya bukan wajah baru. Bertahun-tahun dia sudah berkeliling sekitar perumahan untuk mencari belas kasihan mereka yang 'bodoh'.

Sungguh, tak ada iba baginya. Pengemis dengan wajah sinis dan seperti akan mengeluarkan taring jika kau tidak memberinya lembaran pecahan kecil maupun besar atau sekaleng kecil beras. Tidak! Bagi saya dia hina. Maaf. Mengemis adalah upaya mudah baginya untuk bertahan hidup dengan tubuh sehatnya. Tanpa harga diri, menjatuhkan diri lebih dalam dalam ketiadaan, demi uang. Mungkin tetap halal. Gak tau juga deh tapinya.

Kontradiksi ya? Si sehat yang mengemis dan si buta yang berjualan. Sama-sama mencari sedikit pengharapan untuk hari esok, hanya saja beda nilainya. Saya lebih menghargai mereka yang berusaha, bukan mencari iba. Mereka yang tidak dicacatkan oleh keadaan dari pada mencacatkan diri yang ditakdirkan normal.

Kicrik... Kicrik... Kicrik!!!
Kicrik... Kicrik... Kicrik!!!

Begitulah suara kaleng susu bekas yang diisi batu. Suara menjajakan jasa pijat yang biasa saya dengar berkeliling perumahan di malam hari. Pedagang kerupuk itu menjelma jadi tukang pijat di malam hari. Sekali lagi tanpa kenal waktu. Ya... Toh siang maupun malam baginya tidak beda. Gelap. Mungkin kali ini demi satu hal, anak laki-laki semata wayangnya yang bisa melihat dunia.



(Senin pagi, standing applause untuknya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar