12 Nov 2010

p.u.z.z.l.e.

Kehadiran anda, pelajaran besar. Praduga saya muncul karena dia tidak seterbuka kelihatannya. Perasaannya adalah puzzle, harus saya temukan keping-keping yang hilang lalu menyatukannya untuk melihat gambarannya secara keseluruhan.

Saat itu ada bagian penting yang tidak saya temukan, sulit mencarinya, karena keping itu dia yang simpan. Saat dia menawarkan saya untuk berhenti bermain puzzle, saya justru menerimanya bahkan berencana menjatuhkan semua keping puzzle hingga tidak ada yang tersisa. Saya lelah. Semangat saya pudar. 

Saya kehilangan pancaran dari matanya, hilang. Keyakinan bahwa ada sesuatu yang menyebabkan segalanya semakin besar. Sampai suatu hari, kami benar-benar bicara sekaligus mendengarkan. Sama-sama meluruskan. Saya dinilainya aneh. Saya membuatnya bingung, karena saya tidak seperti pemain yang sebelum-sebelumnya dia hadapi. Saya paling banyak intrupsi, tapi entah kenapa saya mendapat perlakuan istimewa. 

Saat itu juga dia menyerahkan kepingan yang disimpannya. Saya bebas akan menyelesaikannya atau meninggalkannya. Kepingan itu pun saya ambil, kali ini permainan berjalan lamban. Kadang saya tidak bermain seharian penuh, kadang saya membiarkan bagian-bagian kosong begitu saja. Mungkin dia jadi bingung. Dia pun sedikit-sedikit memberi saya petunjuk keping mana yang harus dipasang di bagian kosong itu. 

Kini, walaupun belum sempurna dan masih ada keping-keping yang salah tempat, gambaran besarnya mulai bisa dimaknai. Karena belum sepenuhnya selesai, kesalahan pemaknaan pun mungkin terjadi. 

Saya masih harus belajar melepas segala harapan, dia masih harus belajar bersikap untuk menjaga perasaan. Dia keras, sulit. Tidak seceria luarnya. Seperti lambang gemini. Sisi cerah ceria mungkin saja ditunjukkan kepada setiap penonton, sisi gundahnya hanya ditunjukkan pada saya. Mungkin memang begitu, agar seimbang. Saya ada di sini, untuknya, untuk keseimbangannya. 

Cerianya dia sebarkan ke seluruh alam. Saat lelah, gundah, dia datang kepada saya. Datang ke pangkuan saya persis seperti anak kecil. Saya merasakan kembali pancaran itu saat dia menarik tangan saya, meminta saya untuk tetap di situ, jangan kemana-mana. 

Mungkin akhir-akhir ini saya terlihat acuh sampai-sampai dia minta saya untuk berkenan memberi kecupan di dahinya sebagai tanda sayang. "Disayang dong pacarnya, sun dong jidatnya" ucapnya. Saya tidak berubah, hanya sedikit membebaskan dia. Saya tidak pernah merasa bisa menjadi segalanya, dan saya bukan satu-satunya. Tapi semangat saya kembali hadir. Entah apa yang nanti terjadi, saat ini ya begini adanya. Saya, dengan tanpa alasan  yang logis, tetap ada di sisinya sampai detik ini.


http://restliner.blogspot.com/2010/11/tanpa-alasan.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar