Pagi ini, di angkot yang entah kenapa sama seperti angkot yang saya pakai jasanya kemarin sore, angkot yang supirnya memiliki account jejaring sosial, Facebook --ini hasil curi dengar saya dalam percakapan si supir dengan rekannya yang nebeng angkot yang dibawanya. Oke, sisihkan perihal angkot itu dan segala kisah yang saya tahu tentang supirnya. Hanya saja, kebetulan yang jarang terjadi. Di sini, Kopo, jalanan yang macet oleh sejuta angkot berwarna hijau bertuliskan Soreang-Abdul Muis.
Dalam perjalanan dibawa angkot, kami (saya dan penumpang lainnya) melintasi deretan ruko. Di salah satu ruko yang pintunya terbuka lebar terlihat beberapa kursi yang diisi oleh orang-orang dengan tampang sendu, auranya negatif. Tentu saja, mereka sedang tidak sehat. Sejak pagi mereka memenuhi ruko yang merupakan klinik pengobatan ceragem berharap mendapat giliran untuk mendapat pengobatan terlebih dahulu diantara pesakit-pesakit lainnya.
Diluarnya terlihat seorang lelaki yang belum tua yang sepertinya telah selesai menjalani pengobatan dan mendapat kembali sedikit harapannya. Saat angkot melewati becak tersebut saya bisa melihat wajahnya, masih menunjukan usia produktif. Pria itu terkulai lemah di tempat duduk sebuah becak dengan sebuah bantal yang menahan kepalanya yang lunglai. Pria itu melapisi tubuhnya dengan pakaian tebal-tebal, kaos kaki bola berwarna merah yang dinaikinya hingga celananya masuk ke dalam kaos kakinya --jika saya sedang main looklet, akan jadi tuck pants into shocks, mungkin terik mata hari pagi tak mampu menghangatkan dirinya. Pria itu duduk bersandar di bantal yang sepertinya dibawanya dari rumah sendirian. Sendiri dalam becak berpenumpang dua orang. Sendiri dalam sakitnya. Entah sakit apa...
Ada hal yang menambah dramatis si pria sakit itu. Saat berada sejajar dengan becak yang membawanya seketika itu saya membaca kata "pasrah" di bagian sisi atap terpalnya. Kata yang ditulis seadanya dengan cat merah entah apa maksudnya. Mungkin itu jeritan hati si tukang becak, sudah bingung apa yang harus diperbuat. Sudah tak tahu kepada siapa ia berkeluh-kesah. Tapi dia ingin didengar, dia ingin orang tahu keadaan dia sekarang adalah pasrah. Mata saya membaca pesan hatinya. Setidaknya, tukang becak itu tidak dalam keadaan pasrah total. Dia masih berusaha melalui setiap kayuh pedal becak yang digoesnya hingga membuat si roda berputar, mengantar pengguna jasanya ke tempat tujuan hingga dia mendapat upah jasa. Dia masih berusaha. Bertahan hidup dalam kepasrahannya.
Tapi... Entah kenapa mata saya mendengar 'pasrah' itu sebagai jeritan si pria sakit penumpangnya. Aaah... Dia juga tidak pasrah, dia masih berusaha menggapai-gapai secercah harapan. Mencoba meraih janji dari sebuah metode pengobatan dengan teknik ceragem. Mungkin mereka telah berserah, bukan pasrah total. Mereka berusaha, tapi mungkin hasil yang belum maksimal tetap harus diterimanya dengan besar hati, seolah pasrah.
emang jaman eddaaann..bnyk yg msh susah bgini, pemimpin2nya mlh asik2an jalan2..ckckc.
BalasHapusIya, ngilu ni hati
BalasHapusSemoga idul adha kasih mereka sedikit bahagia
Amien!
ikut mengamini!
BalasHapus*smoga dijabah