20 Nov 2010

Satir Setir

Pernah dengar tentang perilaku seseorang yang dapat tercermin melalui caranya mengemudi? Rasanya saya pernah dapat informasi kalau... Cara mengemudi seseorang bisa mencerminkan kepribadian seseorang.

Orang yang biasanya ugal-ugalan di jalan raya saat mengemudi, padahal sehari-harinya cenderung menunjukkan sikap positif (ceria, bahagia, sabar, tidak pemarah), katanya sih merupakan orang yang memendam emosi. Dipaksa untuk menahan emosinya, menguburnya dalam-dalam.

Well... 2 orang yang biasa menyupiri saya _adik dan si doi_ hobi sembrono di jalan raya. Gemar memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi, nyelap-nyalip, menantang pengemudi lain, arogan, dan sebagainya dan sebagainya. Mental dibawa kebut-kebutan saya sudah terasah, walau kadang menutup mata menahan napas. Menjadi trauma tersendiri dalah pelajaran 'Nyonya Puff' saya.
Siang tadi saya bukan bersama adik saya. Kalau yang berada dibelakang kemudi adalah adik saya, sudah saya toyor-toyor kepalanya sambil bersungut-sungut "Punya berapa nyawa lo?". Lalu biasanya dia hanya manyun. Karena kali ini bukan adik saya, maka saya hanya tertawa-tawa kala emosinya mulai meledak-ledak menghadapi kesemrawutan lalu-lintas kota pinggiran hingga ke ibu kota.

Tentu saja seluruh cercaan meluncur dari mulutnya ditujukan kepada pengguna jalan lain yang dianggapnya lambat, tidak becus, atau menghalangi jalannya. Motor, awur-awuran bikin tambah darah sampai ke ubun-ubun semakin cepat. Oooh... Tak lupa polisi lalu-lintas juga kena damprat. Semua dapat. Hingga... Word of the day-nya adalah 'katro'. Semua dibilang katro.

Saat dia menunjuk-nunjuk polisi lalu-lintas yang dianggapnya tidak becus mengatur hiruk-pikuk kendaraan yang sulit diatur sambil menunjuk-nunjuk si polisi dan berkata "Tuh jaga di sebelah sana". "Sepertinya pribadi kebanyakan orang kita itu pribadi 'harus diatur' bukan 'mengatur' diri sendiri" balas saya. Dia diam, lebih baik begitu daripada adu argumen tentang moral mengalir hingga menambah panas siang itu.

Setengah perjalanan lebih masih kesal tampaknya dia. Memang kami terburu-buru. Ada yang dikejar. Tapi sejujurnya saya lebih suka mengemudi dengan bijak. Sudah dibilang kalau keburu bagus, kalau tidak keburu ya sudah, lain kali. Tak digubrisnya omongan saya. Masih berkerut jidatnya. Sementara saya hanya tertawa-tawa sambil bersenandung.

Setelah dia lelah memberi cap 'katro' pada setiap pelanggar tata-tertibnya, diliriknya saya yang sedang mengetik catatan sambil cekikikan melihat orang marah-marah sendiri di siang bolong. Dituduhnya saya "Dih, sms ade aku ya bilang aku ngebut-ngebut?". Bukan membela tapi mengaku jujur "Ye, aku lagi nulis analisis sikap orang saat mengemudi dengan gangguan emosionalnya". Merasa sedang diteliti, akhirnya diambilnya sebuah keputusan penting "Ya udah ga usah ngebut-ngebut ya? Tapi nanti ga keburu". "Kan udah dibilang dari tadi, kalo ga keburu gak apa-apa" sanggah saya.

Kecepatan dikurangi. Tapi... Polisi lalu lintas masih kena damprat. "Menurut kamu, kalo aku salah karena aku ga tau, terus ditilang, wajar ga aku ditilang" dia mulai membuka topik debat kusir. "Mereka penegak hukum kan ya? Hukum itu udh ada jika begini maka begitu kan ya? Fungsi hakikinya loh... Nah, kalo salah, ada aturannya, harus ditilang ya ditilang. Terlepas kamu tau atau ngga" memancing lawan debat kusir. "Jadi siapa yang salah? Kalo aku ga tau soalnya ga keliatan?" dia membela. Ingin rasanya jawab gini: yang salah itu tukang nasi goreng, nasi udah mateng digoreng lagi. Hah! "Hmmmm mungkin yang pasang petunjuk jalan itu kurang survey, kurang paham keadaan di sini nyatanya gimana, gak tau dia kalau petunjuknya gak terlihat" mencoba beropini. Dia diam, sepertinya setuju. Saya tambahkan agar lebih dramatis "Gak semua busuklah...". Dia diam, mukanya berpikir, alis mengerut, bibir dikatupkan.

Saya terkikik kembali. Sadar ditertawakan, diapun tertawa. "Nah... Gitu dong, selow" komentar saya. Sampai di tempat tujuan tepat waktu. Mepet sih. Pemandu sudah menyerukan "Ayo, ayo udah naik, udah mau diputar, terakhir... Terakhir... Terakhir...". "Pak, toiletnya dimana ya?" dia bertanya. Ternyata yang membuatnya tergesa-gesa adalah kerinduannya pada si toilet.

Ditambah lagi kondisi perutnya yang sudah sedikit merajuk minta diisi. Saya tanya "Kamu udah makan?". "Belum. Demi elu nih!" jawabnya bersungut-sungut. Cekikikanlah saya.

Pelajaran selanjutnya: kebelet pipis, panas, dan lapar bikin ugal-ugalan. 


Gemar memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi, emosi terpendam. Memacu kendaraan dengan kecepatan minimum, sakit. Bernyanyi-nyanti lalu kaget saat ban truk sebelahnya meletus, dwirani. Menganggap mobilnya pesolek, alia. Tidak bisa ganti ban, kometi. Mengemudi dengan memotong garis tengah jalan dan penuh keraguan, avanza dan xenia. Menyalip dan jalur bahu jalan, mobil balap. Jalur paling kiri, bus dan truk. Ngerem mendadak, gangguan pernapasan. Memainkan gas, supir taksi mengakali argo. Melaju pelan di gerbang tol sambil tertempel kertas bertuliskan 'timur', taksi gelap. Sering berhenti dan kadang be o bo de o do ha, angkot. Ugal-ugalan dan kenek kecebur masuk ke dalam selokan, 92 yang saya tumpangi suatu siang.



-Sabtu Siang di TIM-

(Perjalanan selanjutnya hanya sedikit diwarnai intrik dan arogansi, besok lusa siapa tahu???!!!)

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. bwahahaahaa...sabar...beruntung dia dapetnya pasangan yg ga sama temperamen nya yaa..hihi.

    BalasHapus
  3. hahahaha level sabar harus naik teruuuuuuuusssss... :))

    BalasHapus