8 Nov 2010

Tanpa Bermaksud Vulgar

Tanpa bermaksud vulgar, sekadar berbagi bacaan

by Resty Ikhyar on Saturday, 30 October 2010 at 07:58

Dalam sebuah percakapan telepon sempat disinggung mengenai penutupan Dolly dimana FPI stand by katanya *sisipan.
Dolly, kawasan lokalisasi di ibu kota Jawa Timur.
Lokalisasi.
Entah kenapa disebut lokalisasi. Mungkin lengkapnya adalah lokalisasi prostitusi. Mungkin loooh...
Karena prostitusi hanya akan membentuk stigma_katanya.
Apapunlah...
Intinya, mengingatkan pada bacaan yang kemari baru selesai dituntaskan.

ELEVEN MINUTES

...
"Sejarah prostitusi. Itu pernah kutanyakan ketika pertama kali kita berjumpa."

Memang benar, tapi peertanyaan itu dia lontarkan sekadar untuk memancing percakapan agar lelaki itu tertarik. Dia tak lagi mau memikirkannya sekarang.

"Selama ini aku menjelajahi dan mengeksplorasi wilayah tak terpetakan. Semula aku menyangka sejarah prostitusi itu tak pernah ada. Kupikir itu hanyalah salah satu profesi tertua peradaban manusia, seperti yang dikatakan orang. Tapi ternyata prostitusi punya sejarah, bahkan dalam dua versi."

...
"Sungguh, aku tidak hanya berhasil menggali satu versi sejarah prostitusi, melainkan dua sekaligus. Sejarah yang pertama adalah yang sangat kau kenal, sebab ini sejarahmu juga: seorang gadis cantik, yang dikarenakan alasan yang dipilih atau justru memilihnya, memutuskan bahwa satu-satunya cara bertahan hidup adalah dengan menjual tubuhnya. Banyak perempuan seperti itu yang akhirnya menjadi penguasa Negara seperti Messalina di kota Roma, dan banyak lagi tokoh legendaris seperti Madame du Barry, dan masih banyak lagi yang terus berpetualang dan berkubang dalam kemalangan, seperti Mata Hari, mata-mata yang terkenal itu. Namun kebanyakan mereka yang terjun ke dunia ini jarang mencapai masa kejayaan dan gagal memperoleh tantangan besar yang mereka inginkan: mereka tetap saja menjadi gadis desa yang mencari ketenaran, suami, atau sekadar petualangan, tapi akhirnya terjerumus ke dalam realitas sambil terus menipu diri dengan meyakini bahwa mereka sepenuhnya mengendalikan nasibnya, padahal mereka tak bisa mencari alternatif yang lebih baik.

...
"Sepak terjang pelacur dalam peradaban disebut secara terang-terangan di dalam berbagai naskah klasik, pada aksara hieroglif di Mesir, pada tulisan-tulisan kuno dari peradaban Sumeria, juga di Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tapi profesi itu baru diorganisir pada abad keenam SM, ketika seorang senator Yunani bernama Solon berinisiatif mendirikan rumah bordil yang dikelola oleh Negara, dan mulai menarik pajak dari transaksi haram itu. Di pihak lain, peringkat para pelacur ditetapkan menurut besar-kecilnya pajak yang mereka bayar kepada Negara.

"Pelacur kelas paling bawah disebut pornai--mereka adalah kepunyaan pemilik bordil. Peringkat yang lebih tinggi diduduki oleh peripatetica, penjaja cinta yang bebas memikat lelaki di jalanan. Terakhir, dan tentu yang paling mahal, adalah hetaera atau perempuan yang menemani perjalanan para pedagang atau pengusaha, makan di restoran mahal, bebas mengatur keuangannya sendiri, banyak memberi saran dan ikut andil dalam perpoitikan di kota tempat mereka tinggal. Kau sendiri tahu, praktik ini masih saja berlaku hingga sekarang.

"Pada Abad Pertengahan, karena penyakit seks menular..."

...
"Aku tak tertarik dengan versi sejarah yang sudah kuketahui. Semua itu membuatku pilu. Katamu tadi kau punya dua versi sejarah prostitusi?"

...
"Sejarawan Yunani, Herodotus, pernah menulis sejarah negeri Babilonia: "Bangsa itu punya tradisi yang aneh, yang mengharuskan semua perempuan kelahiran Sumeria untuk -- paling tidak sekali dalam kehidupan mereka -- pergi ke kuil Dewi Ishtar dan menyerahkan tubuhnya ke pelukan orang asing, sebagai lambang keramah-tamahan, dan mereka juga diupah secara simbolis."

...
"Pengaruh Dewi Ishtar di kawasan Timur Tengah sampai mencapai Sardinia, Sisilia, bahkan beberapa bandar di Laut Tengah. Kemudian, semasa kekaisaran Romawi, muncul dewi lain, Vesta, yang meminta persembahan berupa keperawanan atau pengorbanan total. Demi menjaga nyala api suci di kuilnya, semua perempuan pelayan kuilnya diharuskan mengajari para pemuda dan raja-raja untuk mencapai kematangan seksual-- mereka akan melantunkan tembang-tembang erotis, membiarkan dirinya kesurupan dan menebarkan kegembiraan mereka ke seluruh jagat raya dalam bentuk penyatuan diri dengan para dewa-dewi."

Ralf Hart menunjukkan kepadanya fotokopi sebuah lirik tembang kuno yang disertai terjemahan bahasa Jerman sebagai catatan kaki. Ralf membaca teks itu pelan-pelan seraya menerjemahkan setiap baris untuk maria:

"Manakala aku duduk di pintu penginapan
Aku, Ishtar sang dewi
Akan menjadi seorang sundal, ibu, istri, dan dewi
Akulah yang mereka sebut kehidupan
Meski kalian memanggilku kematian
Akulah apa yang mereka sebut Tata Aturan
Meski kalian menyebutku Pembangkang
Aku yang kalian cari
Dan kalian temukan
Aku yang kalian campakan
Lalu kalian pungut kembali keping demi keping"

...
"Tak seorang pun tahu mengapa praktik pelacuran sakral itu lenyap dari sejarah, padahal orang mempraktikannya bukan hanya satu atau dua abad, melainkan dua ribu tahun. Mungkin kejadian itu dipicu oleh wabah penyakit, atau masyarakat telah mengubah aturan mereka karena memeluk agama baru. Yang jelas, pelacuran sakral lenyap dari muka bumi dan tak pernah kembali; sekarang dunia dikendalikan oleh lelaki, dan kata 'prostitusi' hanya menciptakan stigma, dan semua perempuan yang berani melanggar norma serta-merta akan dicap sebagai seorang sundal." (Coelho, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar