"Kenapa? Apa alasannya?" kurang lebih begitu saat dia menanyakan alasan dibalik keputusan itu.
Lama saya diam, berpikir. Memutar otak mencari jawaban. Mencari kata-kata yang tepat, masuk akal sekaligus bukan dusta. Saya tidak suka berdusta.
Sampai saat ini sepertinya saya lupa alasan apa yang saat itu saya utarakan. Lupa. Karena jawaban itu hanya akal-akalan saya saja agar cepat melewati bayang-bayang pertanyaan yang terus buat dia penasaran.
Sampai sekarang rasanya saya tidak punya alasan, bahkan memang tidak perlu alasan. Maka, selama ini pun saya tidak menghabiskan waktu untuk mencarinya.
Saya tidak punya alasan, belum terpikir mungkin. Harus dipikirkan, jadi saat dia dengar alasannya, semakin bahagia dibuatnya (ngalor-ngidul). Ini sebenarnya tidak sejalan dengan logika berpikir. Logisnya, saya melakukan sesuatu karena didasari suatu alasan.
Sedangkan ini?
Aaah... Siapa peduli?! Agnes bilang bahwa ini "kadang-kadang tak ada logika" bahkan Mama Ina bilang "tak pernah ada logika".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar